Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah Pendidikan Pancasila
yang dibina oleh Drs. Marsudi, M. Hum
Oleh
Siti Munawaroh
109831426317
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Mei 2010
Kesenjangan Fasilitas antara Artalyta Suryani dengan Narapidana Lain dalam Rumah Tahanan Pondok Bambu
sebagai Bentuk Ketidakselarasan dengan Sila ke-2 dan ke-5
Oleh Siti Munawaroh
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Banyak sekali permasalahan yang menimpa negara ini. Salah satunya adalah maraknya pejabat-pejabat tinggi negara yang menjadi narapidana dikarenakan kasus-kasus tertentu. Misalnya kasus Jaksa Urip Tri Gunawan yang terbukti disuap oleh Artalyta Suryani. Setelah kasus tersebut diputuskan dan Artalyta Suryani di penjara, tak dapat menjamin keadilan dalam penanganan di penjara tersebut. Dalam Rutan Pondok Bambu, ia mendapat berbagai fasilitas yang dapat dikatakan “mewah” jika dibandingkan dengan tahanan-tahanan lain. Hal ini terbukti ketika diadakannya sidak oleh tim dari Satgas Mafia Pemberantasan Hukum yang terdiri dari Mas Achmad Santosa, Denny Indrayana, Yunus Husein, dan Herman Effendi, pada hari Minggu tanggal 10 Januari 2010 sekitar pukul 19.00 WIB.
Keadaan sel yang memiliki berbagai fasilitas mewah seperti pendingin ruangan/ AC, kulkas, televisi flat layar datar, spring bed, laptop untuk browsing internet, blackberry, ada juga peralatan fitnes, kamar mandi pribadi yang didalamnya terdapat WC duduk, merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi warga lain. Hal ini juga tidak sesuai dengan pancasila terutama sila ke-2 dan sila ke -5. Dalam kasus ini, telah terjadi pelanggaran tentang keadilan bagi penghuni lain. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat judul “Kesenjangan Fasilitas antara Artalyta Suryani dengan Narapidana Lain dalam Rumah Tahanan Pondok Bambu sebagai Bentuk Ketidakselarasan dengan Sila ke-2 dan ke-5”
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas meliputi; (1) Apa saja permasalahan yang dihadapi lembaga pemasyarakatan, (2) Bagaimana kasus dan penanganan Artalyta Suryani, (3) Apa saja bentuk kesenjangan fasilitas antara penjara Artalyta Suryani dengan narapidana lain di Rumah Tahanan Pondok Bambu, (4) Bagaimana solusi untuk mewujudkan persamaan fasilitas antar penghuni rumah tahanan?
2. Pembahasan
2.1 Lembaga Pemasyarakatan dan Permasalahannya
Berkembangnya produk perundangan untuk mengawal jalannya pembangunan, menimbulkan beragam tindakan yang bisa dipidanakan. Dalam pelaksanaan pidana ini, kita bersumber pada UU Nomor 1 Tahun 1946, yang telah dikuatkan dengan UU Nomor 73 Tahun 1958, yang dikenal dengan nama Wetboek van Straftrecht. Sejak tahun 1946 telah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, serta telah mengalami perubahan dan pengembangan sesuai dengan dinamika pembangunan hukum. Berbagai produk hukum baru telah membawa implikasi luas bagi mereka yang terkena pidana dan harus menjalankan hukuman penjara. LP yang tadinya disebut penjara, bukan saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu dengan intesifnya penegakkan hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainnya, penghuni LP pun makin beragam antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni LP-pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia, maupun panjangnya hukuman dari hanya 3 bulan, sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati. Spektrum penghuni LP yang sangat luas, baik dari kejahatan, latar belakang, profesionalisme, usia, dan lamanya hukuman, menyebabkan pengelolaan LP-pun menjadi sangat kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan (Rahardi Ramelan,2007).
Pemikiran baru mengenai fungsi hukuman penjara, dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964, dan tercermin didalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan. Sejak diubah oleh Dr Sahardjo, SH, dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang pada 1964, sistem penjara berubah menjadi pemasyarakatan. Sistem penjeraan dan eksploitasi yang diatur dalam Reglemen Penjara (Gestichten Reglement Stbl 1917 No. 708) dinyatakan tak berlaku. Istilah pemasyarakatan diambil dari pidato pengukuhan Sahardjo di Istana Negara, 3 Juli 1963, yang berjudul "Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila" (Tempo Interaktif,Februari 2010).
Sudah menjadi rahasia umum, kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi. Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara proporsional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, sanitasi, hak untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain. Padahal pemenuhan hak-hak tersebut telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Serta dikukuhkan secara internasional melalui Standard Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners. Ada tiga factor yang menyebabkan penjara sulit menjalankan fungsinya dan memenuhi hak-hak narapidana sesuai UU, yaitu;
1. Penjara di Indonesia berhadapan dengan masalah otonomi (problem of autonomy).
Kebijakan yang diambil oleh penjara sebagai sebuah organisasi tidak bersifat otonom terhadap institusi yang ada di atasnya. Dalam memperbaiki kondisi fisik penjara, kualitas sanitasi, makanan, kesehatan dan lain-lain, manajemen penjara akan menunggu keputusan dari otoritas yang lebih tinggi. Setidaknya dalam hal pendanaan. Relasi seperti ini memposisikan narapidana sebagai pihak yang paling dirugikan. Kematian narapidana akibat sakit dapat dikaitkan dengan masalah otonomi penjara ketika manajemen penjara harus menunggu keputusan dan droping dana dari institusi di atasnya untuk memperbaiki berbagai hal tersebut.
2. Masalah teknologi (problem of technology).
Teknologi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk sarana dan prasarana yang canggih (berteknologi tinggi) dalam mendukung proses pembinaan dalam penjara. Lebih dari itu, teknologi yang dimaksud terkait dengan manajemen penjara secara umum dalam proses pembinaan (people processing). Dalam kenyataannya, proses pembinaan yang dilakukan diragukan efektivitasnya dengan munculnya residivisme. Di beberapa penjara, proses pembinaan yang dilakukan hanya “berada” di atas kertas (seperti laporan tahunan lembaga). Sebuah penjara mengatakan telah memberikan pelatihan menjahit dan pelatihan komputer. Padahal mesin jahit hanya berjumlah satu dan komputer yang dipergunakan untuk pelatihan hanya berupa rangka hardware-nya saja.
3. Masalah kontrol sosial (problem of social control).
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa relasi antar warga penjara didasarkan atas dasar kewenangan. Kontrol di dalam penjara lebih banyak diperlihatkan dalam bentuk penghukuman. Misalnya atas narapidana yang melakukan kerusuhan, kekerasan atau melanggar peraturan. (Goshen Ministry, 2009)
Ketiga faktor yang memunculkan masalah bagi penjara sebagai sebuah organisasi tersebut tidak berdiri sendiri. Faktor pertama menjadi pemicu munculnya faktor kedua dan ketiga. Antara faktor kedua dan ketiga berimplikasi. Dalam menjalankan proses reintegrasi sosial, narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan CMK (Cuti Mengunjungi Keluarga), Asimilasi, PB (Pembebasan Bersyarat), dan CMB (Cuti Menjelang Bebas), tetapi kenyataannya proses dan administrasi mendapatkan hak-hak tersebut ruwet, serta memakan waktu dan ongkos, sehingga pelaksanaannya terhambat, misalnya di LP Cipinang dalam dua tahun terakhir ini hampir tidak ada yang menjalankan hak asimilasi. Untuk terpidana kasus-kasus tertentu, hak-hak narapidana seperti diatas termasuk remisi, telah dikebiri lagi dengan keluarnya PP 28/2006, tanggal 28 Juli 2006.
Langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memperbaiki keadaan LP, adalah mengurangi huniannya.
1. Memberikan segera hak PB dan CMB pada waktunya, tanpa prosedur yang berbelit-belit dan tanpa ongkos. Menghilangkan berbagai peraturan yang justru mempersulit pemberian hak tersebut.
2. Segera memberlakukan hukuman berupa kerja sosial, bagi terpidana dibawah 6 bulan, yang sudah dsejak 6 bulan yang lalu idengung-dengungkan oleh Menteri Hukum dan HAM.
3. Meninjau kembali seluruh PP, Kepres, Kepmen sampai Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan, agar tidak bertentangan dengan UU 12 tahun 1995.
4. Mengevaluasi kembali disain dari LP baru.
2.2 Kasus dan Penanganan Artalyta Suryani
JAKARTA (Suara Karya): Terdakwa Artalyta Suryani, penyuap jaksa Urip Tri Gunawan, dituntut hukuman lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, Artalyta harus membayar denda sebesar Rp 250 juta. Tuntutan tersebut disampaikan JPU KPK yang diketuai Sarjono Turin di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diketuai Mansyurdin Chaniago, di Pengadilan Tipikor, kemarin. JPU KPK menilai Artalyta terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.
Artalyta menyuap Urip 660 ribu dolar AS, kata JPU KPK, untuk kepentingan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Sjamsul Nursalim. Artalyta meminta Urip yang menjadi ketua tim penyelidik kasus tersebut untuk tidak memanggil Sjamsul. Tindakan Artalyta tersebut, menurut JPU KPK, melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Alasan yang memberatkan hingga JPU KPK menuntut hukuman lima tahun penjara kepada Artalyta adalah yang bersangkutan menyuap penegak hukum, memberikan keterangan yang berbelit-belit, serta tidak menyesal dengan perbuatannya. Bahkan, JPU menilai Artalyta berusaha membuat rekayasa supaya terkesan pemberian uang kepada Urip adalah keperluan bisnis. Perbuatan Artalyta dinilai tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi yang digalakkan oleh pemerintah. Sedangkan hal-hal yang meringankan, menurut Sarjono, tidak ada.
Sementara itu, penasihat hukum Artalyta, Otto Cornelis Kaligis, menyatakan, siap mengajukan pembelaan atas tuntutan tersebut. Menurut dia, pemberian uang kepada Urip tidak lebih dari aktivitas bisnis. Dia juga menegaskan, kliennya tidak pernah bekerja sama dengan Urip untuk membocorkan informasi terkait penyelidikan perkara BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim. Majelis hakim menunda sidang hingga Senin pekan depan untuk mendengarkan pembelaan Artalyta dan kuasa hukumnya.
Sebelumnya, surat dakwaan JPU KPK menyatakan, dengan perantaraan Urip, Artalyta diduga telah memengaruhi mantan Direktur Penyidikan Pidana Khusus Muhammad Salim dan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman dalam penanganan kasus tersebut. Dalam surat dakwaan itu JPU KPK mengungkapkan bahwa Artalyta memiliki hubungan baik dengan Urip dan berkali-kali menghubungi Urip untuk mengurus kasus Sjamsul. Kontak pertama dilakukan ketika Surat Perintah Penyelidikan kasus PT BDNI yang mantan presiden direkturnya Sjamsul Nursalim dikeluarkan Kejaksaan Agung.
Pada 5 Desember 2007, Artalyta menghubungi Urip agar bisa dipertemukan dengan M Salim. Tujuannya untuk membicarakan pemanggilan Sjamsul menghadap Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung RI, pada 6 Desember 2007. Selanjutnya Urip bersama jaksa Djoko Widodo berhasil mempertemukan Artalyta Suryani dengan Salim dan Kemas Yahya Rahman. Keesokan harinya, Artalyta mempertemukan Urip dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim, untuk membicarakan pemanggilan Sjamsul oleh Kejaksaan Agung. Pada 7 Desember 2007, Artalyta kembali menemui Urip di Hotel Grand Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang memberikan surat panggilan kedua atas nama Sjamsul Nursalim untuk dimintai keterangan pada 13 Desember 2007. Pada pertemuan itu Artalyta memberikan uang Rp 100 juta kepada Urip. Selanjutnya, Artalyta kembali menghubungi Urip pada 10 Desember 2007 untuk membicarakan panggilan kedua terhadap Sjamsul untuk kasus yang sama. Hasilnya, Sjamsul tidak memenuhi panggilan tersebut pada 13 Desember 2007.
Pada 18 Desember 2007, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk bertemu di Hotel Millenium pada 19 Desember 2007 untuk membicarakan perkembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi pada penyerahan aset pemegang saham bank penerima BLBI kepada BPPN. Lalu, pada 28 Desember 2007, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk keperluan yang sama. Saat itu Artalyta kembali menemui Salim di Kejaksaan Agung. Pada 8 Januari 2008, Urip memberikan informasi kepada Artalyta bahwa ada perintah dari atasan Urip untuk kembali memanggil Sjamsul Nursalim pada 17 Januari 2008. Saat itu Artalyta minta kepada Urip agar Sjamsul tak perlu dipanggil lagi. Atas permintaan itu, menurut surat dakwaan JPU KPK, Urip mengusulkan kepada Artalyta agar pengacara Sjamsul menyurati penyidik bahwa yang bersangkutan sedang dalam keadaan sakit di Singapura. Sedangkan Artalyta minta kepada Urip agar menyerahkan surat panggilan tersebut. Urip menyerahkan surat panggilan tersebut keesokan harinya. Artalyta pun menandatangani tanda terima surat tersebut dengan mencantumkan nama Agus. Pada hari itu juga Urip menginformasikan kepada Artalyta bahwa kasus Sjamsul akan diekspose di hadapan Jaksa Agung. Pada kesempatan itu, Artalyta juga meminta Urip untuk membantu agar tidak timbul masalah yang merugikan kepentingan Sjamsul. Sore harinya Urip kembali memberikan informasi soal perkembangan hasil ekspose kasus Sjamsul, yang dilanjutkan dengan pertemuan di Hotel Grand Mahakam pada malam harinya. Kemudian, Artalyta meminta Urip terus membantu perkara Sjamsul. Pada 27 Februari 2008, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk mengambil uang yang sudah dijanjikan sebelumnya. Pada 2 Maret 2008, Urip ke rumah di Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9 Jakarta Selatan untuk menerima 660 ribu dolar AS sampai akhirnya keduanya ditangkap penyidik KPK. (Nefan Kristiono)
2.3 Perbandingan Penjara Artalyta Suryani dengan Narapidana lain di Rumah Tahanan Pondok Bambu serta Ketidakselarasannya dengan Sila ke-2 dan ke-5
Tim dari Satgas Mafia Pemberantasan Hukum yang terdiri dari Mas Achmad Santosa, Denny Indrayana, Yunus Husein, dan Herman Effendi, pada hari Minggu tanggal 10 Januari 2010 sekitar pukul 19.00 WIB, melakukan sidak ke rumah tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Menurut keterangan Sekretaris Satgas, Denny Indrayana, sidak ini dilakukan tanpa memberi tahu terlebih dulu kepada kepala rutan, namun Tim Satgas melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Menkum HAM, Patrialis Akbar.
Selama sidak, ada lima napi yang dicek dan ditemui Satgas, mereka itu adalah Artalyta Suryani alias Ayin, Aling, Darmawati, Ines Wulandari, Eri. Napi yang pertama kali didatangi oleh Satgas adalah Artalyta Suryani alias Ayin yang merupakan napi dengan hukuman penjara selama lima tahun lantaran terlibat kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. Saat tim melakukan sidak ke sel yang dihuni oleh Artalyta Suryani alias Ayin, ternyata perempuan ini sedang tidak berada di tempat sel tahanannya. “Saat kami datang, Ayin sedang menjalani perawatan kulit. Ada juga keterangan kalau dia sedang menjalani perawatan gigi”, kata Denny Indrayana. “Keterangan yang kami dapatkan Ayin berada di ruangan itu dari pagi hingga malam. Saat malam, dia baru kembali ke selnya”, kata Denny Indrayana. Namun, Denny mengaku belum bisa memastikan apakah Ayin selalu kembali ke selnya pada malam hari, “Tidak tahu apakah memang selalu kembali sel atau tidak, karena di ruangan khususnya itu ada ranjangnya”, kata Denny Indrayana. Masuk penjara ternyata tak selamanya identik dengan kesusahan, minim fasilitas dan rentetan berbagai keluhan lainnya (Dodi, 2010). Di Kamar ayin/ Artalita Suryani terdapat pendingin ruangan/ AC, Kulkas, Televisi Flat layar datar, Spring Bed, Laptop untuk browsing Internet, Blackberry, ada juga peralatan Fitnes, Kamar Mandi pribadi yang didalamnya terdapat WC Duduk, Bahkan Ayin mempunyai Asisten pribadi/ Pembantu untuk merawat anak ayin yang masih kecil dan seorang Dokter Kecantikan untuk perawatan wajah (Dodi, Januari 2010).
Spring bed dan alat fitness Kamar mandi pribadi
Ruang Tamu Fasilitas lainnya
Pembantu dan dokter kecantikan
Sel tahanan Ayin pun juga tidak berada di sel bersama-sama dengan napi lain. “Sel Ayin di tempat khusus, meski masih dalam satu blok. Dia berada di sel sendirian”, kata Denny Indrayana. Mungkin itulah jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggelayuti di beberapa kalangan berkaitan dengan penampilan Ayin selama masa hukumannya. Memang Ayin selama dalam masa tahanan Ayin tetap berpenampilan rapi dan tampak ayu. Bahkan, saat Pemilu 2009 lalu, Ayin juga tampil dengan make up tebal dan rambut pendek saat mencoblos (Bocahndeso,2010). Bahkan pengusaha yang dikenal sebagai ratu lobi itu mendapat fasilitas istimewa: sebuah “kantor” yang nyaman layaknya ruang perkantoran di kawasan segitiga emas Jakarta.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengakui incognito mereka diilhami iklan laporan utama majalah Tempo edisi 11-17 Januari 2010. Berisi hasil investigasi perlakuan istimewa terhadap "Si Ratu Suap" di Rutan Pondok Bambu. Satgas menganggap tujuan incognito hanya melakukan terapi kejut demi pembenahan penjara.
Sedangkan Pemandangan memprihatinkan mewarnai sejumlah penjara wanita di Indonesia. Di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, misalnya, sekitar 20 tahanan harus berjejal di dalam sel berukuran sekitar 5 x 6 meter, tidur beralaskan kasur tipis di atas ranjang ubin keramik, dan berebut satu kamar mandi plus kakus seluas 2 meter persegi yang hanya dibatasi sekat setinggi satu meteran. Sel tahanan yang sumpek itu masih disesaki aneka jemuran pakaian dan handuk milik para tahanan. Sanitasi penjara tempat para tahanan wanita melalui hari-harinya itu sungguh tak memadai. Yang membuat makin miris, di antara para tahanan wanita yang berjejal di sel sempit itu terdapat sejumlah tahanan yang tengah hamil. Seperti tahanan lainnya, mereka yang berbadan dua juga menempati kamar yang sama, sumpek dan bersanitasi buruk.
Kondisi itu sangat kontras dengan hotel prodeo Artalyta “Ayin” Suryani, diatas yang selama mendekam di Rutan Pondok Bambu, Ayin—kini telah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten--. Hujan deras mengguyur Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada Kamis siang lalu. Rhani—bukan nama sebenarnya—seorang tahanan di salah satu sel di Blok E, tampak tengah membetulkan jaket dan selimut untuk membungkus tubuhnya. Siang itu Rhani berbaring di atas tikar yang dialasi selembar kain di sebuah ranjang ubin keramik berukuran 2,25 x 6 meter. Di atas ranjang di dalam kamar tahanan berukuran 5 x 6 meter itu, Rhani tak sendirian. Di samping perempuan 21 tahun itu ada tiga tahanan lainnya yang juga sedang tidur. Lalu, di sisi pembaringan tiga tahanan lainnya lagi terlihat asyik duduk bercengkerama. Satu di antara mereka menikmati sebatang rokok dan dua lainnya menyantap mi ayam. Ada satu tahanan lagi yang tengah buang hajat di ruang 2 x 1 meter yang berfungsi sebagai kamar mandi plus kakus, yang terletak di ujung kamar tersebut. Kondisi Rhani, yang tengah hamil 6 bulan, memang sedang tak sehat. Sejak pagi badannya panas. Dia memilih berbaring, tak menghiraukan puluhan temannya yang bercengkerama dan dibesuk anggota keluarganya. “Saya lagi tidak enak badan,”katanya. “Sudah tiga bulan saya tidak ditengok (dibesuk) keluarga.”
Berada di penjara dalam keadaan berbadan dua, ditambah tak ada keluarga yang menjenguk, jelas membuat Rhani tertekan. Selama menjalani enam bulan dari satu tahun masa hukuman, baru satu kali keluarganya menengok. “Saya tertekan, batin saya menangis,”tutur perempuan asal Ciledug, Tangerang, Banten, itu bernada lirih. Rhani tinggal satu blok dengan Wulan, tahanan yang juga tengah hamil. Usia kandungan Wulan sekitar delapan bulan. Bedanya, kamar Rhani diisi 20 tahanan, kamar Wulan yang juga berukuran 5 x 6 meter hanya dihuni 8 orang. Keadaan kamar Wulan juga lebih rapi. Boleh jadi, itu lantaran Wulan datang dari keluarga berada, sementara Rhani dari kalangan menengah-bawah. (tempointeraktif, 2010)
Dari hasil penelusuran Tempo, yang membuat kita makin miris, di dalam tahanan yang sumpek dan bersanitasi buruk itu terdapat beberapa tahanan yang tengah menyusui bayinya. Setidaknya, ada tiga ibu menyusui yang ditemui Tempo di Blok E Rutan Pondok Bambu pada Kamis lalu. Salah satunya Nurhayati, 35 tahun, bukan nama sebenarnya. Karena tak ada keluarga yang mau merawat, narapidana kasus narkoba itu terpaksa merawat sendiri buah hatinya, Bunga, 11 bulan, di dalam penjara. Bunga tidur beralas kasur tipis, berjejal dengan 15 narapidana wanita yang merupakan teman sekamar sang ibu.
Selain tidur, para tahanan melakukan aktivitas lainnya, seperti makan, minum, mandi, dan buang hajat, di kamar dengan sanitasi tak memadai. Kamar sempit yang sudah dijejali 20 tahanan itu masih ditambah sumpek dengan gantungan aneka handuk dan pakaian kotor milik para penghuninya. Rhani dan Wulan adalah dua dari sekian tahanan
Rumah tahanan Pondok Bambu
2.4 Solusi Penanganan Mewujudkan Persamaan Fasilitas antar Penghuni Rumah Tahanan
Memang tidak mudah dalam menangani narapidana yang dapat terdiri dari berbagai suku bangsa dan kebudayaan. Namun, fasilitas yang didapatkan oleh Artalyta Suryani dalam penjaranya sangat tidak adil bagi narapidana yang lain. Keadaaan penjaranya sungguh sangat kontras dengan keadaan penjara narapidana yang lain. Artalyta mendapatkan fasilitas pendingin ruangan/ AC, kulkas, televisi Flat layar datar, Spring Bed, Laptop untuk browsing Internet, Blackberry, ada juga peralatan Fitnes, Kamar Mandi pribadi yang didalamnya terdapat WC Duduk, bahkan mempunyai Asisten pribadi/ Pembantu untuk merawat anaknya yang masih kecil dan seorang Dokter kecantikan untuk perawatan wajah dalam kamarnya.
Jika keadaan penjaranya seperti itu, bukankah sama halnya dengan Artalyta hanya pindah rumah atau sedang menginap di hotel. Dalam penjaranya, ia dapat melakukan kegiatannya sehari-hari, bahkan menjalankan bisnisnya. Dalam hukum pidana, mafia hukum dikategorikan sebagai kejahatan terorganisasi yang bertujuan menumpulkan mekanisme hukum pidana (Donald R. Cressey dalam Soedjono Dirdjosisworo, 1985). Pelakunya mungkin saja perorangan, tapi lebih sering dilakukan organisasi, yang resmi maupun tak resmi. Tak mengherankan, orang seperti Artalyta bisa berbisnis dari penjara. Jangankan Artalyta--yang standar pengamanannya medium security--di penjara maximum security Nusakambangan, misalnya, terpidana 10 tahun penjara (semula 15 tahun) Tommy Soeharto juga berbisnis. Urusan bisnis itu diatur staf-stafnya yang rutin berkunjung. Penghuni Nusakambangan sejak Agustus 2002 hingga April 2006 ini bahkan bolak-balik ke Jakarta, dengan dalih berobat. Macam-macam sakitnya, ada vertigo, tumor otak, sampai trauma. Dispensasi sakit ini terus diberikan, hingga menjelang Tommy bebas bersyarat pada awal pada 2007. Hebatnya, meski didera sakit, Tommy aktif ikut kegiatan donor darah dan kuliah di sebuah kampus swasta di Cilacap. Dan ini yang parah: terlihat bolak-balik berlibur ke sebuah vila di Sentul, Bogor. Bahkan, di tempat itu, ia menggelar kompetisi bulu tangkis Hutomo Cup.
Sementara itu, sekitar 20 tahanan harus berjejal di dalam sel berukuran sekitar 5 x 6 meter, tidur beralaskan kasur tipis di atas ranjang ubin keramik, dan berebut satu kamar mandi plus kakus seluas 2 meter persegi yang hanya dibatasi sekat setinggi satu meteran. Sel tahanan yang sumpek itu masih disesaki aneka jemuran pakaian dan handuk milik para tahanan. Sanitasi penjara tempat para tahanan wanita melalui hari-harinya itu sungguh tak memadai. Yang membuat makin miris, di antara para tahanan wanita yang berjejal di sel sempit itu terdapat sejumlah tahanan yang tengah hamil. Seperti tahanan lainnya, mereka yang berbadan dua juga menempati kamar yang sama, sumpek dan bersanitasi buruk.
Sungguh pemandangan yang kontras. Padahal jika dibandingkan, kasus yang membuat mereka di penjara sangat jauh berbeda. Artalyta masuk penjara karena terbukti menyuap Jaksa Urip bahkan merugikan negara ini. Sementara narapidana lain pada umumnya tersangkut kasus yang hanya merugikan sebagian masyarakat. Namun fasilitas yang diberikan pada Artalyta sangat “mewah”. Padahal, banyak yang dirugikan akibat kasusnya. Akibatnya muncul berbagai rasa ketidakadilan pada narapidana lain khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Peristiwa rumah tahanan Artalyta ini melanggar atau tidak selaras dengan nilai-nilai dan norma yang ada pada pancasila, khususnya sila ke-2 dan ke-5. Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (Ekaprasetya pancakarsa) berdasarkan Tap. MPR No. II/MPR/1978 adalah:
• Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama warga negara.
b. Saling mencitai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo sliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bengsa lain.
• Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
a. Mengembangkan perbutan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongn kepada orang lain.
f. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
g. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
h. Menghargai hasil karya orang lain.
i. Suka bekerja keras
j. Tidak bersifat boros.
k. Mejauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. (Darji darmodiharjo, 1984: 119).
Peristiwa tersebut tidak selaras dengan nilai-nilai di atas, diantaranya adalah pada kasus tersebut, tidak diakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama warga negara (sila ke-2), tidak bersikap adil (sila ke -5). Pada sila ke-2, kasus ini tidak mengakui persamaan derajat dan hak antara tahanan yang “kaya” dengan rakyat biasa. Hal ini terlihat pada keadaan sel tahanan yang kontras antara keduanya. Artalyta yang “nyaman” dengan segala fasilitasnya, sedangkan narapidana lain yang kurang terpenuhi hak proposionalnya. Pada sila ke-5, jelas terjadi ketidakadilan pada narapidana biasa.
Hal ini juga tidak sesuai dengan pasal 27 ayat 1, UUD 1945,” Segala warga negara bersamaan keududukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada kasus tersebut, terlihat tidak adanya persamaan kedudukan antara golongan pejabat dan rakyat biasa. Hal ini terlihat pada kesenjangan fasilitas pada sel yang ditempati. Selain itu, terjadi ketidak sesuaian juga dengan “wajib menjunjung tinggi hukum” pada pasal tersebut karena dengan kesenjangan fasilitas, dimungkinkan adanya “perjualbelian hukum” yang berarti pelakunya tidak menjunjung tinggi hukum, baik pelaku maupun aparat “penjual beli hukum”.
Untuk menyamaratakan fasilitas dalam penjara, dapat dilakukan dengan cara berikut;
1. Pemerintah menyediakan dana yang lebih besar bagi penjara-penjara agar hak narapidana dapat terpenuhi. Hal ini dilakukan agar dapat terpenuhinya fasilitas yang menjadi hak proporsionalnya narapidana. Jika dana dari pemerintah kurang lancar, dikhawatirkan aparat akan mencari dana lain, misalnya saja dengan memberikan fasilitas khusus pada narapidana yang “kaya”.
2. Dalam kasus pidana, baik yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negara maupun warga sipil, aparat pemerintah diharapkan bertindak jujur dan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Tidak memberikan fasilitas khusus terhadap petinggi negara tersebut karena dapat terjadi kesenjangan dengan narapidana yang lain, baik sosial maupun fasilitas.
3. Adanya penjara yang khusus bagi petinggi-petinggi negara yang tersandung kasus atau dengan memberikan baju tahanan yang bertuliskan kasusnya, misalnya koruptor, agar dapat membuat para pelaku lebih menyadari kesalahannya mengingat fungsi penjara yang saat ini sebagai lembaga pembinaan narapidana serta menumbuhkan kesadaran agar nantinya narapidana tersebut lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya dipemerintahan.
Melihat contoh di negara lain, seharusnya Satgas serius mengkaji kasus Artalyta cs. Tidak mungkin mereka bertindak sendiri meminta "fasilitas" kepada pejabat penjara, apalagi sampai melobi pejabat di luar penjara. Mereka pasti butuh perantara. Bisa pengacara, pejabat penjara atau Depkumham, atau sejenis "orang kuat" lain sebagai makelarnya. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mungkin bisa belajar dari Komisi Presiden untuk Penegakan Hukum dan Administrasi Peradilan (US President's Commission on Law and Administration of Justice), yang dibentuk semasa Presiden Lyndon Johnson pada 1967. Komisi ini banyak melakukan kajian dan menghasilkan rekomendasi bermutu untuk pembenahan hukum di Amerika, karena bisa menemukan "akar masalah" lemahnya penegakan hukum.
Oleh sebab itu, semua pihak baik aparat pemerintah maupun masyarakat harus dapat bekerjasama dengan baik apabila ada permasalahan yang seperti ini. Masyarakat dapat melaporkan pada pemerintah apabila ada “kecurangan” dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan pemerintah harus dapat bertindak tegas apabila ada aparatnya yang berbuat menyalahi hukum.
3. Penutup
Kesimpulan
Dari permasalahan diatas, dapat disimpulkan bahwa lembaga pemasyarakatan atau penjara di Indonesia khususnya di Rutan Pondok Bambu masih terdapat penyelewengan hukum dalam menangani narapidananya degan memberikan fasilitas “khusus” pada artalyta Suryani”. Hal ini sangat merugikan narapidana lain serta tidak selaras dengan nilai-nilai dan norma pada pancasila diatas khususnya sila ke-2 dan sila ke-5. Ketidakselarasan tersebut diantaranya adalah pada kasus tersebut, tidak diakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama warga negara (sila ke-2), tidak bersikap adil (sila ke -5). Hal ini terlihat pada keadaan sel tahanan yang kontras antara keduanya. Artalyta yang “nyaman” dengan segala fasilitasnya, sedangkan narapidana lain yang kurang terpenuhi hak proposionalnya. Pada sila ke-5, jelas terjadi ketidakadilan pada narapidana biasa.
Hal ini juga tidak sesuai dengan pasal 27 ayat 1, UUD 1945,” Segala warga negara bersamaan keududukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada kasus tersebut, terlihat tidak adanya persamaan kedudukan antara golongan pejabat dan rakyat biasa. Hal ini terlihat pada kesenjangan fasilitas pada sel yang ditempati. Selain itu, terjadi ketidak sesuaian juga dengan “wajib menjunjung tinggi hukum” pada pasal tersebut karena dengan kesenjangan fasilitas, dimungkinkan adanya “perjualbelian hukum” yang berarti pelakunya tidak menjunjung tinggi hukum, baik pelaku maupun aparat “penjual beli hukum”.
Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam permasalahan ini adalah aparat pemerintah seharusnya dapat bertindak jujur dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, semua pihak baik aparat pemerintah maupun masyarakat harus dapat bekerjasama dengan baik apabila ada permasalahan yang seperti ini. Masyarakat dapat melaporkan pada pemerintah apabila ada “kecurangan” dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan pemerintah harus dapat bertindak tegas apabila ada aparatnya yang berbuat menyalahi hukum agar tercipta negara yang aman, tertib, dan damai.
DAFTAR RUJUKAN
Bocahndeso. 2010. Cara Ayin agar Tetap Ayu. (online), (http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/11/cara-ayin-agar-tetap-ayu/, diakses 4 Mei 2010)
Darmodiharjo,Darji. 1984. pancasila suatu organisasi Singkat. Jakarta: Aries Lima.
Dodi. 2010. Penjara Ayin (Artalita Suryani) Sangat Mewah. (online), (http://dodiindra.com/uncategorized/penjara-ayin-artalita-suryani-sangat-mewah.htm, diakses 4 Mei 2010)
Ministry, Goshen. 2009. Potret Penjara Indonesia. (online), (http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=127964809087, diakses 4 Mei 2010)
Ramelan ,Rahardi. 2007. Lembaga Pemasyarakatan Bukan Penjara. (online), (http://www.leapidea.com/presentation?id=85, diakses 4 Mei 2010)
Tempointeraktif . 2010. Ironi Penjara Wanita. (online), (http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/773-ironi-penjara-wanita.html, diakses 4 Mei 2010)
TEMPOInteraktif, Jakarta .2010. Artalyta dan Mafia Penjara. (online), (http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2010/02/01/kol,20100201-130,id.html, diakses 4 Mei 2010)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: CAHAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya...